MENGENAL HUKUM WARIS DI INDONESIA



  1. Sejarah Dan Pengertian Hukum Waris Di Indonesia

Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Eman Suparman, M.H., mengatakan, Indonesia memiliki keragaman sistem hukum waris. Setiap wilayah atau lingkungan adat di Indonesia memiliki sistem hukum waris tersendiri serta “Hukum waris erat kaitannya dengan kehidupan manusia, karena setiap manusia pasti akan mengalami kematian,”

Dalam Pasal 163 IS, Belanda mengatur penggolongan penduduk yang ada di Hindia Belanda. Saat itu, Indonesia atau Hindia Belanda belum menjadi negara yang berdaulat, tetapi masih menjadi negara koloni Belanda. Karenanya, Hindia Belanda saat itu belum mengenal istilah warga negara. Ada tiga golongan penduduk berdasarkan pasal tersebut. Golongan pertama adalah golongan kulit putih, atau masyarakat Eropa dan masyarakat yang dipersamakan dengan orang Eropa. Golongan kedua adalah timur asing Cina dan timur asing lainnya, serta golongan ketiga adalah kelompok Bumiputera atau pribumi asli Nusantara.


Ketentuan hukum waris juga mengikuti kaidah hukum berdasarkan golongan penduduk. Golongan Eropa dan yang dipersamakan notabene mendapatkan eksklusivitas pemerintah kolonial, ketentuan hukum warisnya mengacu pada kitab Burgerlijk Wetboek (WB). Acuan kitab BW juga berlaku bagi golongan timur asing Cina dan timur asing lainnya. Selain itu, golongan ini juga dipersilakan untuk mengadopsi hukum adat masing-masing, seperti hukum adat dari Cina atau hukum adat dari India.Saat ini ini hukum waris di Indonesia masih menganut pada tiga sistem, yaitu hukum waris berdasarkan BW, hukum waris menurut hukum adat sebagai kearifan lokal, serta hukum waris menurut agama Islam.

Pengaruh tiga sumber hukum, yaitu hukum Islam, hukum adat dan hukum Eropa (Barat/Belanda) berlangsung sejak dini, sejak masa kerajaan Islam dan terus berlangsung hingga kini. Ada banyak teori dimunculkan dalam rangka pemberlakuan hukum waris tersebut, terutama pada masa penjajahan Belanda. Teori-teori itu tanpaknya ditujukan lebih pada upaya untuk memposisikan hukum waris Islam dalam masyarakat, di antara hukum waris yang lainnya. Ada teori recepcio in complexu. Teori ini tampaknya menggambarkan keadaan umat Islam saat itu, yang memberlakukan hukum Islam pada diri mereka, termasuk hukum waris. 


Karena itu, ketentuan hukum yang berlaku pada orang Islam pada saat itu seharusnya adalah hukum waris Islam. Namun, tampaknya Belanda tidak terlalu senang dengan pemberlakuan hukum Islam tersebut, karena itu dimunculkanlah teori baru, yaitu teori receptie, yang menegaskan bahwa hukum waris Islam dapat berlaku orang Islam jika telah diresepsi (diterima) oleh hukum adat. teori inilah yang mempengaruhi politik hukum Belanda selama masa penjajahan.


Pengertian Hukum waris adalah, sebuah hukum yang mengatur tentang pembagian harta seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris atau keluarga yang berhak. Di Indonesia, hukum waris yang berlaku ada 3 yakni, hukum adat, hukum waris Islam dan hukum perdata.


  1. Berbagai Macam Hukum Waris di Indonesia dan Pembagiannya


  1. Menurut Hukum Islam

Pembagian harta waris ini sendiri mengacu pada anjuran dalam Alquran. Menurut buku Pembagian Warisan Menurut Islam yang ditulis oleh Muhammad Ali Ash-Sahbuni, jumlah pembagian harta yang ditentukan dalam Alquran ada enam macam, yakni setengah, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga, dan seperenam. Bagaimana dengan yang menerimanya? Pembagian warisan ini dibagi berdasarkan bagian masing-masing ahli waris yang sudah ditetapkan juga besarannya. Sebagai negara dengan mayoritas beragama Muslim, hukum terkait warisan dalam Islam juga tertulis dalam Pasal 176-185 ayat KHI (Kompilasi Hukum Islam). Berdasarkan pasal tersebut, berikut besaran bagian ahli waris menurut ajaran Islam selengkapnya:

Anak perempuan bila hanya seorang mendapat saparuh bagian. Bila dua atau lebih, mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Jika anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki dua berbanding satu dengan anak perempuan.
Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak. Bila memiliki anak, ayah mendapat seperenam bagian. Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak/dua saudara/lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka mendapat sepertiga bagian. Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.

Duda mendapat separuh bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak. Jika meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian. Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak. Jika meninggalkan anak, janda mendapat seperdelapan bagian.
Jika pewaris meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.


  1. Menurut Hukum Waris Perdata


Merupakan pembagian harta warisan yang diatur oleh hukum perdata atau hukum keuangan secara umum dan berlaku di Indonesia. Pembagian warisan menurut Hukum Waris Undang-Undang (KUH Perdata) dapat dibedakan menjadi empat golongan ahli waris, yakni:

  • Golongan I: Termasuk suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang berhak menerima warisan. Pembagiannya adalah, istri atau suami dan anak-anaknya, masing-masing mendapat 1/4 bagian.

  • Golongan II: Merupakan mereka yang mendapat warisan bila pewaris belum memiliki suami atau istri serta anak. Maka, yang berhak mendapatkan warisan adalah kedua orang tua, saudara, dan atau keturunan saudara pewaris.

  • Golongan III: Dalam golongan ini, pewaris tidak memiliki saudara kandung sehingga yang mendapatkan warisan adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah. Misal, yang mendapatkan bagian adalah kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi 1/2 bagian untuk garis ayah, dan 1/2 bagian untuk garis ibu.

  • Golongan IV: Yang berhak mendapat warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup. Mereka mendapat 1/2 bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan 1/2 bagian sisanya.


  1. Menurut Hukum Waris Adat


Karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beragam suku bangsa, maka Tanah Air kita juga memiliki hukum waris adat sebagai acuan pembagian harta warisan. Adapun hukum adat sendiri bentuknya tidak tertulis. Maka dari itu, hukum warisan berdasarkan adat banyak dipengaruhi oleh struktur kemasyarakatan dan kekerabatan. Di Indonesia sendiri, sistem pewarisan adat dibagi menjadi beberapa macam sistem.

  • Sistem keturunan: Pembagiannya dibedakan menjadi tiga macam. Yakni, patrilineal atau berdasarkan garis keturunan bapak. Kedua, sistem matrilineal yaitu berdasarkan garis keturunan ibu. Ketiga,Sistem bilateral yaitu sistem berdasarkan garis keturunan kedua orang tua.

  • Sistem Individual: Setiap ahli waris mendapatkan harta menurut bagiannya masing-masing. Biasanya diterapkan pada masyarakat yang menerapkan bilateral seperti Jawa dan Batak.

  • Kolektif: Ahli waris menerima harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi penugasan atau kepemilikannya. Setiap ahli waris juga hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapatkan hasil dari harta tersebut.

  • Sistem Mayorat: Harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu. Seperti halnya di masyarakat Bali dan Lampung, harta warisan dilimpahkan kepada anak tertua, dan di Sumatera Selatan kepada anak perempuan tertua.





Powered by Blogger.